Selasa, 11 September 2012

Tulisan dari bapak Profesor Hendra Gunawan tentang "Korporatisasi Pendidikan"


Tulisan dari bapak Profesor Hendra Gunawan tentang "Korporatisasi Pendidikan"

Sumber: http://personal.fmipa.itb.ac.id/hgunawan/files/2007/11/KORPORATISASI-PENDIDIKAN-YANG-DITUDUHKAN-ITU.pdf

KORPORATISASI PENDIDIKAN YANG DITUDUHKAN ITU
Oleh: Hendra Gunawan
Membaca jalan pikiran Mohammad Abduhzen, Direktur Eksekutif Institute for Education Reform, Universitas Paramadina, yang juga menjabat sebagai Ketua Litbang PB PGRI, dalam tulisannya "Korporatisasi Pendidikan" yang dimuat di Kompas, 30 Agustus 2012, saya terusik untuk  menanggapinya. Di samping untuk mempertanyakan logika yang ia pakai, saya juga merasa perlu untuk mengangkat persoalan pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan tinggi, secara lebih komprehensif, bukan sekadar kasus sebagaimana yang disoroti oleh Abduhzen.

Menurut Abduhzen, meskipun Menteri Pendidikan dan Kebudayaan telah menegaskan bahwa Pemerintah tak berkeinginan memprivatisasi pendidikan (www.kompas.com, 27 Maret 2012), “ide utama yang dikembangkan dalam UU BHP yang kini menjadi UU Pendidikan Tinggi ialah korporatisasi dan privatisasi lembaga pendidikan”. Pembaca tentunya mengetahui bahwa UU Pendidikan Tinggi yang dimaksud telah diundangkan sebagai UU No. 12 Tahun 2012, pada 10 Agustus 2012 yang baru lalu.

Abduhzen berpendapat bahwa “korporatisasi dan privatisasi lembaga pendidikan memang tidak dimaksudkan untuk mengalihkan kepemilikan sekolah dan perguruan tinggi (negeri) kepada perseorangan atau swasta.” Namun, ia kemudian meloncat ke kesimpulan, bahwa “hal tersebut secara gradual akan mengeliminasi peran Pemerintah dalam pembiayaan dengan mengidealkan sekolah dan perguruan tinggi mandiri.” Abduhzen seolah dapat meramal apa yang akan terjadi ke depan, tidak menghiraukan berbagai upaya Pemerintah untuk meningkatkan pembiayaan pendidikan tinggi, misalnya dengan mengalokasikan dana Rp 7 triliun untuk dana abadi beasiswa pada tahun 2012 ini
(Kompas, 20 Juli 2012).

Yang lebih merisaukan, Abduhzen kemudian melanjutkan logikanya yang rapuh itu. Ia menulis, “Apabila terus dikembangkan, gagasan ini akan berdampak: pertama, tanggungan biaya masyarakat terus meningkat. Para pengelola pendidikan yang sedianya guru dan dosen bukanlah pebisnis andal. Kemampuan mereka mengoleksi dana terbatas dari orangtua murid/mahasiswa, paling jauh menyewakan aset. Adapun untuk transaksi besar ---pada kenyataannya--- mereka hanya diperalat oleh para pejabat, pebisnis, atau politikus.”

Dalam argumen di atas, Abduhzen telah menggunakan kasus untuk mengambil sebuah kesimpulan umum. Ketika menulis artikel ini, saya sedang berkunjung ke sebuah rumah sakit (swasta). Di rumah sakit ini ada bank, toko buku, toko roti dan makanan ringan, kedai makanan waralaba terkenal, dan lain-lain, yang pemiliknya bukan pihak rumah sakit tersebut. Pengelola rumah sakit menyewakan sebagian tempatnya kepada mereka untuk membuka usahanya di rumah sakit itu. Apakah saya kemudian dapat menyimpulkan, bahwa pengelola rumah sakit yang sedianya dokter dan suster bukanlah pebisnis andal, dan rumah sakit ini hanya diperalat oleh pebisnis?

Kedua, Abduhzen menyimpulkan, lagi-lagi tanpa argumen yang sahih, bahwa “mutu pendidikan akan merosot karena iklim akademis tergerus bisnis.” Lanjutnya, “kampus dan pengelolanya akan disibukkan oleh berbagai urusan niaga, yang tentunya lebih mengasyikkan, sehingga peningkatan kualitas terabaikan.” Sepertinya ia bisa merasakan dirinya berada di kampus yang ia maksud. Saya, sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi eks BHMN, bersama ratusan rekan dosen lainnya, pada kenyataannya, tidak pernah merasa disibukkan oleh berbagai urusan niaga, apalagi merasa bahwa urusan tersebut lebih mengasyikkan, yang membuat saya melupakan kualitas kegiatan tridharma saya.

Bila Abduhzen menyatakan bahwa “situasi ini kini mulai dirasakan bukan saja dengan hadirnya kios, kafe, dan mal di dalam kampus, melainkan juga berkembangnya logika dan kosakata dagang, seperti daya saing, standardisasi, sertifikasi ISO, kualitas tergantung harga, dan lain sebagainya,” hal tersebut juga terjadi di rumah sakit yang saya kunjungi tadi. Mengapa kehadiran kios dan kafe tidak dipandang sebagai upaya untuk membuat kampus lebih nyaman, dan standardisasi sebagai upaya penjaminan mutu, yang saat ini merupakan kebutuhan?

Yang mencengangkan saya, Abduhzen juga menyimpulkan bahwa “roh pendidikan akan pudar. Interaksi pembelajaran sebagai proses humanisasi ---mencerdaskan dan membudayakan--- berubah menjadi relasi-relasi transaksional.” Ia seolah sedang memperingatkan kita, bahwa itulah yang terjadi di universitas swasta (baca: privat) di mana dosen datang mengajar lalu pulang --sangat transaksional.

Mohon maaf, saya di sini sedang menggunakan logika Abduhzen, bahwa privatisasi akan menyebabkan hal  tersebut. Bukankah universitas swasta merupakan lembaga privat, bentuk yang sedang dituju oleh lembaga yang sedang mengalami proses privatisasi yang ia bicarakan?

Keempat, ini yang paling absurd, Abduhzen juga menyimpulkan bahwa “korupsi akan tumbuh subur. Orientasi pendidikan menjadi materialistis, sementara pemerintah dan masyarakat yang menyubordinasikannya secara sistemis telah korup. Alhasil, ide-ide koruptif dengan mudah mengontaminasi lingkungan pendidikan.” Entah data apa yang dimiliki oleh Abduhzen, namun yang pasti ia mengabaikan fakta bahwa beberapa perguruan tinggi eks BHMN telah diaudit oleh akuntan publik dan mendapat status WTP.

Bila pun ada kasus, sekali lagi hanya kasus, apakah kesimpulan umum di atas sahih? Saya mengikuti perkembangan dari UU BHP ke UU Dikti, termasuk menyoroti beberapa pasal yang kontroversial dalam UU Dikti yang baru diundangkan itu. Terus terang, saya berada di pihak yang memperjuangkan otonomi perguruan tinggi, dan saya tidak puas dengan sejumlah pasal yang tidak sejalan dengan prinsip otonomi perguruan tinggi.

Sebutlah misalnya pasal 10 tentang klasifikasi rumpun ilmu. Ada apa koq rumpun ilmu diatur secara kaku dalam undang-undang? Bukankah itu adalah ranahnya akademisi, para skolar di perguruan tinggi? Dan bukankah ilmu berkembang terus, dengan semakin cepat?

Demikian pula urusan penyelenggaraan program studi (pasal 33), pelaksanaan penelitian (pasal 45-46), dan pengangkatan dosen tetap (pasal 71), yang sudah waktunya diserahkan kepada perguruan tinggi, selama perguruan tinggi tersebut telah disetujui pendiriannya, dan dari waktu ke waktu diakreditasi oleh Pemerintah dan lembaga lainnya.

Bila kita ikuti hasil survey internasional tentang kualitas ribuan perguruan tinggi yang ada di seluruh dunia, kita seharusnya menyadari bahwa perguruan tinggi kita jauh tertinggal dibandingkan dengan perguran tinggi di negara lain, bahkan dibandingkan dengan perguruan tinggi di negeri jiran Malaysia sekalipun. Berbagai ukuran kualitas dapat kita usulkan sebagai alternatif, namun rasanya kita tidak dapat berkilah atau menipu diri sendiri bahwa perguruan tinggi kita baik-baik saja.

Konon, perguruan tinggi mengemban misi tridharma, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Tapi tengoklah berapa banyak perguruan tinggi kita yang menunjukkan kinerjanya dalam penelitian? Saya tidak akan memperlihatkan datanya di sini, namun saya ungkapkan bahwa dari 3200 lebih perguruan tinggi yang ada di negara kita, hanya 54 yang terekam publikasi hasil penelitiannya di Scopus (http://www.scopus.com). Dari 54 perguruan tinggi tersebut, empat perguruan tinggi dengan jumlah publikasi terbanyak adalah perguruan tinggi eks BHMN. Dari 3000 lebih PTS, tak sampai 20 perguruan tinggi yang tercantum dalam data tersebut, itupun dengan
jumlah publikasi yang amat minim. (Bila pembaca penasaran, silakan tengok datanya di
blog http://personal.fmipa.itb.ac.id/hgunawan.)

Pertanyaannya kemudian, ada apa gerangan dengan perguruan tinggi kita? Tidakkah kita
ingin mempunyai perguruan tinggi yang berkualitas, sebaik UM di Malaysia atau NUS di
Singapura, bila tidak mau membandingkan dengan perguruan tinggi di AS atau Eropa. Di
antara perguruan tinggi yang ada, perguruan tinggi manakah yang dapat dipacu ke arah
sana? Apa yang harus dilakukan? Berapa biayanya? Siapa yang harus membayar?
Mengapa kita tidak bersatu-padu mewujudkan cita-cita founding fathers kita, untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan Indonesia sejahtera? Pendidikan
merupakan kunci pembangunan, demikian Wapres Boediono menulis di Kompas pada 27
Agustus 2012. Terlebih, pendidikan tinggi menjadi penentu apakah Indonesia dapat
bersaing pada abad Ekonomi Berbasis Pengetahuan ini.

Selama 12 tahun kita ramai mengutak-utik peraturan. Kapan kita bisa tenang berkarya?
Sepertinya koq ada yang tidak rela bila ada perguruan tinggi maju di negara kita.
Benarkah?***
Bandung, 1 September 2012