Rabu, 10 September 2014

Napak Tilas Perjuangan Pangeran Diponegoro

Tulisan berikut ini dibuat oleh kawan saya Muhammad Rizal sehubungan dengan kunjungannya ke tempat-tempat bersejarah yang berkaitan dengan Pangeran Diponegoro.
===

Pangeran Diponegoro


Sedikit bagi pengalaman...

Beberapa waktu lalu saya berkesempatan mengunjungi Kota Yogya. Kesempatan ini saya pergunakan untuk napak tilas beberapa tempat bersejarah yang berkaitan dengan perjuangan Pangeran Diponegoro. Karena punya waktu luang 2 hari, maka saya sempatkan berkunjung ke empat lokasi:

1. Makam moyang-moyang Pangeran Diponegoro di Kotagede.


Di pemakaman ini terbaring jasad tokoh-tokoh yang pernah saya baca di buku-buku sejarah maupun cerita setengah legenda. Antara lain:

-Panembahan Senopati: Orang yang membuka Alas (hutan) Mentaok (Kotagede/Banguntapan) dan menjadikannya sebagai ibukota Mataram. Kotagede inilah asal muasal keramaian tempat tersebut yang di kemudian hari Kota Yogya didirikan bersebelahan (sekarang bersambung) dengannya. Makamnya terletak di dalam bangunan makam agak ke ujung dalam, tapi bukan paling ujung. Di sebelahnya dimakamkan istri dan adik-adiknya. Saya rasa, orang-orang Yogya atau yang mendapat manfaat dari Yogya sebaiknya mengunjungi makam ini dan mendoakan keselamatan beliau karena jasa beliaulah Yogya didirikan.

-Ki Ageng Pemanahan. Tokoh besar yang memperjuangkan Panembahan Senopati hingga menjadi raja. Makamnya terletak paling ujung dalam bangunan (yang artinya sangat dimuliakan). Beliau dikenal luas sebagai ayah kandung Panembahan Senopati. Tapi menurut penjaga makam (saya lupa menanyakan nama ketua "kuncen" di situ yang mengantar saya melihat makam) ayah kandung Panembahan Senopati sebenarnya adalah Sultan Hadiwijaya, Sultan Kesultanan Pajang yang kemudian pamor Kesultanannya meredup dan digantikan oleh Mataram.

-Ki Juru Mertani. Tokoh besar yang ikut memperjuangkan Panembahan Senopati menjadi raja. Beliau adalah kawan karib Ki Ageng Pemanahan. Makam mereka pun berdampingan. Mereka berdua adalah murid langsung Kanjeng Sunan Kalijaga. Sunan Kalijagalah yang mengatakan Senopati nantinya akan menjadi raja jawa.

-Sultan Hadiwijaya. Keberadaan makam ini membuat saya terkejut. Rupanya Sultan Hadiwijaya alias Joko Tingkir dimakamkan di sini. Kawan saya yang mengantar pun, seorang penduduk Yogya tidak menyangka jika Sang Sultan dimakamkan di sini. Rupanya jasadnya dipindahkan dari Pajang kesini oleh putranya, Panembahan Senopati. Makamnya terletak paling ujung, sedikit lebih tinggi dari semua makam di situ (artinya makam yang paling dimuliakan). Dari sini terlihat adab Panembahan Senopati terhadap ayahnya. Walaupun mereka pernah bertempur, tapi penghormatan Senopati terhadap ayahnya tidak luntur hingga wafatnya.

-Sultan Hamengkubuwono II. Nah, ini juga agak mengherankan kenapa Sultan HB II dimakamkan di sini, bukan di Imogiri. Seperti diketahui, setelah wafatnya Sultan Agung, semua raja keturunannya dimakamkan di kompleks Imogiri. Sultan HB II atau sering disebut 'Sultan Sepuh' adalah orang yang pernah menjadi raja di Yogya sampai tiga kali. Beliaulah orang yang pernah merasakan langsung gempuran Daendels (Belanda-Perancis) dan Raffles (Inggris). Raffles ini setelah menggempur Yogya kemudian merampok sebagian besar kekayaan Keraton Yogya termasuk manuskrip-manuskrip paling berharga, dan juga emas dalam jumlah besar. Hanya satu mushaf Al Quran kesultanan saja yang tidak dirampoknya.

-Makam Raden Mas Jolang atau Prabu Hanyokrowati. Beliau adalah pewaris Panembahan Senopati. Masa pemerintahannya pendek karena beliau meninggal kecelakaan di Krapyak. Digantikan oleh anak keempatnya Adipati Martoputro yang juga berumur pendek. Kemudian anak keempat ini digantikan anak sulung Mas Jolang yang bernama Mas Rangsang. Mas Rangsang inilah yang bergelar Sultan Agung. Di zaman beliau Mataram mencapai zaman keemasan.

-Ki Ageng Mangir. Mungkin kawan-kawan pernah membaca kisah beliau yang merupakan menantu Panembahan Senopati sekaligus musuhnya. Beliau menikah dengan Pembayun, anak perempuan pertama Panembahan Senopati. Dalam kisah ini terjadi pertentangan, Allahua'lam. Makamnya sebagian terletak di dalam bangunan (melambangkan dia keluarga Sultan) dan sebagian di luar bangunan (melambangkan dia musuh sultan). Jadi bagian atas makamnya dipotong dua dengan tembok.

-Makam Pembayun (istri Ki Ageng Mangir) dan makam keluarga kerajaan lainnya, termasuk makam abdi dalem-abdi dalem yang berpangkat tinggi.

Kompleks makam kerajaan di Kotagede ini relatif sepi dengan suasana sangat tenang. Sedikit yang berkunjung. Sebelum masuk kompleks pemakaman ada masjid yang bangunan utamanya didirikan oleh Panembahan Senopati. Masjid yang sangat tenang dan bernuansa klasik Jawa. Makam ini diurus secara bersama oleh keturunan Panembahan Senopati: Kasunanan Solo, Kesultanan Yogyakarta, Praja Mangkunegaran, dan Kadipaten Pakualaman.

2. Kediaman Pangeran: Tegalrejo.

Kemudian saya minta diantar ke Tegalrejo. Yaitu kediaman Sang Pangeran. Kediaman beliau terletak di pinggir, sebelah barat laut Yogya. Setelah masuk sebuah gang, sampailah kami di pintu belakang kediaman Sang Pangeran. Sebuah kediaman yang cukup luas. Bangunan asli tempat kediaman Pangeran Diponegoro hampir seluruhnya sudah dihancurkan oleh pasukan belanda yang menyerbu (terdiri dari belanda asli dan pribumi). Setelah itu tempat itu dibangun kembali. Di bagian samping terdapat tembok yang terkenal itu; tembok yang dijebol oleh Pangeran Diponegoro untuk lari bersama pengikut dan keluarganya ketika tempat itu dihujani tembakan meriam belanda. Tembok ini tebalnya sekitar 40-50 cm.

Tempat ini juga cukup sepi. Padahal kami kesana di ujung masa liburan kemarin. Sebagian bangunan didominasi oleh warna hijau tentara. Memang saya dengar tempat ini diurus dan dirawat oleh TNI-AD (mungkin Kodam Diponegoro). Penjaga yang mengantar kami pun bertampang tentara. Meskipun cukup bersih, tapi ada kesan tidak terlalu terawat, terutama museumnya.

Satu hal yang saya baru tahu, Pangeran Diponegoro ternyata bukan orang yang 'populer' di Yogya karena Perang Jawa (1825-1830) dianggap sebagai pemberontakan terhadap Kesultanan Yogya. Perang itu sendiri adalah perang Pangeran Diponegoro yang mendapat dukungan rakyat banyak dan bupati-bupati Islam di pesisir Jawa melawan Kesultanan Yogya dan Belanda yang dibantu oleh Kadipaten Mangkunegaran "dan Solo" dalam beberapa pertempuran. Seusai perang, nama "Diponegoro" tidak pernah lagi digunakan oleh Keraton Yogya hingga kini. Keluarga Sang Pangeran pun dihapuskan dari catatan resmi Keraton. Rekonsiliasi baru terjadi pada 100 tahun peringatan wafatnya Sang Pangeran pada 1955 yang saya dengar, dilakukan atas perantaraan Presiden Soekarno. Setelah itu barulah Sultan Hamengkubuwono IX memberikan amnesti pada keluarga Sang Pangeran. Baru-baru ini, akhir dasawarsa 2000, keturunan Pangeran Diponegoro kembali dicatat dalam catatan resmi Keraton Yogya, atas perkenan Sultan Hamengkubuwono X.

Memasuki museum, akan terlihat foto Susuhunan Pakubuwono VI, raja Solo yang membantu perjuangan Pangeran Diponegoro. Seusai penjebakan Sang Pangeran, Belanda segera menangkap Sunan Pakubuwono VI ketika beliau keluar dari istananya untuk tirakat dan hanya ditemani dua abdi dalem yang paling dekat. Beliau tak pernah dipulangkan kembali, langsung diasingkan ke Maluku. Beberapa tahun kemudian, Belanda memberi kabar bahwa beliau telah tewas akibat perahunya tenggelam ketika pesiar. Setelah zaman kemerdekaan, sekitar akhir 1950-an, Pemerintah Indonesia membuka kembali makam beliau dan melakukan investigasi forensik terhadap rangkanya. Setelah itu kerangka dipindahkan ke Imogiri. Ternyata di dahi beliau terdapat satu lubang bekas peluru belanda. Beliau rupanya dieksekusi belanda. Saksi yang melihat dan ikut menginvestigasi ketika itu adalah cicit beliau sendiri, Jenderal GPH Djatikusumo, KASAD yang pertama.

Jenderal GPH Djatikusumo mengidentifikasi, lubang peluru di dahi buyutnya berasal dari senapan Baker Riffle sehingga beliau dipastikan dieksekusi oleh regu tembak, bukan mati bunuh diri. Dari sebuah cerita, diketahui saat di Maluku rupanya beliau tidak kapok berjuang. Old soldier never die. Beliau masih berusaha berjuang dengan cara bergabung dengan Sultan Ternate. Nah, dalam perjalanan kapal menuju Ternate inilah beliau ditangkap, dan selepas itu dieksekusi belanda.

Selain itu, museum sederhana ini berisi barang-barang yang dipakai saat Perang Jawa seperti busur, tombak, pistol dan senapan. Terdapat pula beberapa lukisan yang menggambarkan situasi perang. Selain itu ada copy surat tulisan tangan Sang Pangeran kepada ibu dan adiknya yang tidak pernah sampai pada alamat yang dituju, melainkan sampai dan disimpan di negeri belanda.

3. Markas Besar Pangeran: Gua Selarong

Setelah mengunjungi Tegalrejo, saya minta diantar ke Markas Besar Pangeran Diponegoro, Gua Selarong. Lokasinya terletak di Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul. Belasan Km di selatan Yogya. Wilayah Selarong dan persawahan di sekitarnya adalah tanah pribadi Sang Pangeran yang didapatkannya sebagai anak sulung Sultan Hamengkubuwono III. Selarong sejak dulu merupakan tempat Pangeran Diponegoro melakukan tirakat.

Dalam perjalanan, kawan yang jadi penunjuk jalan kami sempat beberapa kali bertanya, karena dia sendiri belum pernah berkunjung kesana. Rupanya Selarong ada di kawasan pedesaan yang asri. Banyak pohon-pohon. Yang dinamakan gua selarong itu adalah dua ceruk yang lumayan dalam di sisi tebing sebuah bukit gamping. Untuk mencapainya harus menaiki tangga yang lumayan banyak dan agak curam. Di sisi lainnya ada sumber mata air. Gua itu yang satu adalah gua kakung, tempat tinggal Pangeran Diponegoro, yang satu lagi adalah gua putri. Tempat tinggal istri beliau RA Ratnaningsih. Satu-satunya istri ketika itu yang ikut berjuang. RA Ratnaningsih juga komandan pasukan wanita di situ.

Melihat kedua gua yang sempit ini, saya jadi terpikir. Betapa Sang Pangeran sanggup hidup menderita tinggal di tempat seperti ini. Begitu juga istrinya. Dari kehidupan istana yang cukup mewah, berpindah pada kehidupan keras. Pangeran membawa anak-anaknya juga. Gak kebayang bagaimana anak-anak tidur di sini. Sempit. Langit-langit gua juga rendah. Saya bayangkan kalau malam pasti banyak nyamuk di situ. Kalau tidak mau digigit nyamuk ya diasapi. Penderitaan ganti dengan bau asap dan nafas sesak. Keadaan berat ini dialaminya bertahun-tahun setelah itu.

Setelah mendengar berita hijrahnya Sang Pangeran dari Tegalrejo ke Selarong, sebagian pangeran dan kerabat istana Yogya dan kerabat Kabupaten Madiun segera meninggalkan istananya beserta segala pengikutnya untuk bergabung dengan Pangeran Diponegoro. Tidak kurang dari 77 orang kerabat istana serta pengikutnya masing-masing menyatakan diri bergabung. Ada dari kalangan anak-anak HB I, anak-anak HB II dan anak-anak HB III. Saya bayangkan, tempat ini dulunya pasti ramai. Mungkin para pengikut Sang Pangeran membuat tempat pemukiman di bawah tebing-tebing gamping ini. Tempat ini pernah tiga kali diserbu belanda, tapi semuanya gagal.

4. Tempat Pangeran Dijebak: Kediaman Residen Kedu, Magelang

Ketika masa sekolah dulu saya sering mendengar bahwa Pangeran Diponegoro ditangkap dengan cara dijebak. Diajak berunding, ternyata ketika datang malah ditangkap. Maklum orang mau berunding, hanya bawa pengawal pribadi dan senjata sekadarnya.

Jadi dalam kesempatan ini saya ingin sekali mengunjungi tempat Pangeran dijebak. Setelah mencari-cari informasi, ternyata kediaman Residen Kedu itu letaknya di Magelang. Maka kami segera menuju tempat tersebut pada hari kedua. Karena membawa anak-anak, maka kami transit di villa teman yang jadi guide. Villanya dekat dengan Candi Borobudur.

Setelah istirahat sejenak, kami terus masuk Kota Magelang dan mencari lokasi yang dituju. Di alun-alun Magelang sempat bertanya pada tukang parkir dan ada lagi orang yang sedang duduk-duduk di sana. Ternyata tidak ada yang tahu lokasi itu. Setelah mencari di internet, akhirnya ketemu juga lokasinya. Di Jl. Diponegoro No. 1.

Ex Kediaman Residen sungguh luas. Kalau kita masuk ke halaman barulah nampak tulisan Museum Pangeran Diponegoro. Setelah membangunkan penjaga yang sedang tidur (siang sekitar pkl 13.00), kami segera diantarnya ke dalam untuk melihat lokasi bersejarah tersebut.

Ruangan perundingan ternyata terletak di sayap kiri bangunan, berupa sebuah kamar kira-kira seukuran 5 x 5 meter persegi. Di dalam masih tersusun empat kursi jati dalam formasi segi empat. Kursi bekas Pangeran duduk diletakkan dalam kotak kaca dan separo ditutup dengan kain putih. Posisinya menghadap ke pintu. Jadi ketika perundingan berlangsung, Pangeran menghadap ke pintu dan Jenderal De Kock membelakangi pintu. Kedua kursi yang tersisa diduduki oleh kedua penterjemah, juga saling berhadapan. Seketika saya menghampiri kursi Pangeran untuk membuktikan apa yang beberapa kali saya baca. Ternyata benar, di bagian tiang pegangan tangan kursi sebelah kanan ada bekas cuilan di kayu jatinya, bekas genggaman jari Pangeran yang sedemikian kuat sehingga mampu melukai kayu jati yang keras. Ketika mendadak ditangkap, Pangeran sedemikian geramnya atas siasat licik belanda dan beliau merapatkan genggamannya untuk menahan marah.

Yang juga baru buat saya, jubah Pangeran yang diletakkan dalam kotak kaca di sebelah kiri ruangan. Penjaga gedung menjelaskan, itulah jubah Pangeran yang dipakai ketika perundingan. Sebelum beliau duduk, jubah tersebut dilepas dan dilipat oleh ajudannya. Jubah tersebut dari leher ke bawah panjangnya (tingginya) sekitar 160 cm. Bagian bawah jubah tentu lebih tinggi dari mata kaki sebagaimana seorang muslim. Bayangkan tingginya Pangeran. Mungkin sekitar 180 cm atau lebih. Menurut penjaga gedung, tinggi Pangeran Diponegoro sepantar dengan Jenderal De Kock.

Dalam kamar itu juga ada dipan kayu tempat Pangeran melaksanakan solat. Jika kita keluar, halaman belakang kediaman residen sungguh asri. Padang rumput luas dan di pojoknya ada sebuah gazebo yang sangat indah. Dinihari sebelum perundingan, Pangeran Diponegoro masih sempat berjalan-jalan di taman ini dan merenung, bertafakur seperti kebiasaannya. Mungkin juga beliau sempat berdiam sejenak di gazebo tersebut. Berdiri di situ sambil menikmati pemandangan gunung Merbabu  , sungguh satu pengalaman luar biasa.

Sepulang dari situ kami mampir lagi di villa kawan dan sempat juga melihat dan naik ke Candi Borobudur pada sore harinya sebelum tutup.

Demikian tulisan ini. Moga ada manfaatnya. Terima kasih semuanya.

-Rizal-

Sumber foto: http://en.wikipedia.org/wiki/Diponegoro

Tidak ada komentar:

Posting Komentar